Cari Blog Ini

Senin, 08 Agustus 2011

Kamis, 29 April 2010

Pengendalian Hawa Nafsu

Cinta kita kepada Allah SWT dan keyakinan bahwa kehidupan di dunia ini suatu saat akan berakhir dan di akhirat nanti masing-masing kita harus mempertanggungjawabkan setiap detik perjalanan hidup di dunia, memiliki andil yang sangat besar dalam mengendalikan kecenderungan hawa nafsu.

Suatu saat terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rasulullah Saw bertanya kepada Hudzaifah. Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini? Jawab Hudzaifah: “Saat ini saya sudah benar-benar beriman, ya Rasulullah”. Rasul kemudian mengatakan, “Setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu, wahai Hudzaifah?” Jawab Hudzaifah: Ada "dua", ya Rasulullah. Pertama, saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan mas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur kepada Allah SWT.  Tapi, kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah, dan bila ia pergi maka, Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un. Yang kedua, Hudzaifah mengatakan, “setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan surga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli surga itu me-nikmati kenikmatan surga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah saya untuk melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya”.

Mendengar jawaban Hudzaifah ini, Rasul langsung saja memeluk Hudzaifah dan menepuk punggungnya sambil berkata,  "pegang erat-erat prinsip keimananmu itu, ya  Hudzaifah, kamu pasti akan selamat dunia akhirat". Bila kita cermati dialog tersebut, paling tidak, ada "dua" hikmah yang bisa kita petik. Pertama, iman kepada Allah, dengan mencintai Allah itu di atas cinta kepada selain Allah. Dan yang kedua, selalu membayangkan akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di dunia bagi kehidupan yang abadi di akhirat nanti.

Di dalam beberapa ayat, Allah SWT menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang muttaqin, mereka di antaranya adalah yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat. Orang yang beriman akan adanya kehidupan akhirat, akan membuat dia mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meyakini akan adanya kehidupan akhirat, "Mereka tidak pernah takut dengan hisab Kami, dan mereka telah mendustai ayat-ayat Allah dengan dusta yang nyata." (An Naba', 78 : 27-28)

Di dalam Alquran, Allah SWT mengisahkan dialog sesama Muslim di akhirat yakni antara Muslim yang ahli surga dengan Muslim berdosa yang masuk dalam neraka jahanam. Muslim yang langsung masuk surga bertanya kepada Muslim berdosa yang masuk ke dalam neraka. “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka ? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian.” (Al Muddatstsir, 74 : 42-46)

Menurut Alquran, kebanyakan orang-orang yang kufur adalah mereka yang akhir hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Ini terjadi karena mereka tidak mengimani bahwa kehidupan mereka akan berakhir di alam akhirat dan mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh aspek kehidupan mereka selama di dunia. Demikian pula, Allah SWT mengisahkan kesombongan Fir'aun dan orang-orang yang menyembahnya, "Sombonglah Fir'aun itu dengan seluruh pengikutnya di muka bumi tentu dengan alasan yang tidak benar. Dan mereka mengira, bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada Kami." (Al Qashash, 28 : 39)

Kesombongan Fir'aun berakhir saat sakaratul maut. Saat dia menyadari bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika rombongan malaikat yang bengis-bengis itu mendatanginya saat dia sedang berada di tengah laut, yang dikisahkan para malaikat itu langsung memukul wajah dan punggung mereka. Allah SWT berfirman: “..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An'aam, 6 : 93)     

Pada saat sakaratul maut itu, Fir'aun menyatakan: “Sekarang saya benar-benar beriman dengan Tuhannya Nabi Musa dan Harun”. Namun saat sakaratul maut pintu taubat sudah ditutup. Karena sudah tidak ada lagi ujian keimanan, sebab yang ghaib termasuk alam dan makhluk ghaib sudah terlihat nyata. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qaaf, 50 : 22)

Orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari pembalasan/akhirat, yang diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya untuk hanya mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang dibenci Allah, yang hanya mencintai sesuatu di dunia jika yang dicintainya itu dicintai Allah SWT.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika pada siang hari, Sayidana Umar ra. berkunjung ke rumah Rasulullah SAW di mana saat itu Rasul sedang tidut beristirahat, dengan dada telanjang. Ketika beliau bangun tampaklah pada punggungnya garis-garis merah karena kasarnya alas tidur beliau yang dibuat dari pelepah kurma. Melihat pemandangan ini, Sayidina Umar menangis. Beliau yang terkenal keras saat itu luluh hatinya ketika melihat Rasulullah dalam kondisi seperti itu. Rasul bertanya: “Apa yang membuat kamu menangis wahai Sayidina Umar ? “Umar berkata:” saya malu ya Rasulullah, engkau adalah pemimpin kami, engkau adalah Rasul Allah, manusia pilihan, manusia yang dimuliakan-Nya. Engkau adalah pemimpin ummat, namun engkau tidur di atas alas yang kasar seperti ini, sementara kami yang engkau pimpin tidur di atas alas yang empuk. Saya malu ya Rasusulullah, selayaknya engkau mengambil alas tidur yang lebih dari ini”. Rasul menjawab: “Apa urusan saya dengan dunia ini? Tidak ada! Urusan diri saya dengan dunia ini kecuali seperti orang yang sedang mengembara dalam musim panas menempuh sebuah perjalanan yang cukup panjang, lalu sekejap mencoba bernaung di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sekejap melepas lelah. Setelah itu dia pun kemudian pergi meninggalkan tempat peristirahatannya”. Kata Rasul: haruskah saya korbankan kehidupan yang abadi hanya untuk bernaung sejenak menikmati itu? (HR. Ahmad, Ibnu Habban, Baihaqi)

Selain kisah di atas, ada kisah lain yang layak kita renungkan di mana suatu ketika Khalifah Umar kedatangan putranya, Abdullah, yang meminta dibelikan baju baru. Secara spontan saja Sayidina Umar langsung marah sambil mengatakan: “Apakah karena kamu seorang anak Amirul Mu’minin lantas kamu ingin bajumu selalu lebih baik dari anak-anak yang lain ? Jawab Abdullah: Tidak! Saya khawatir malah kondisi saya ini akan menjadi fitnah, menjadi bahan cemoohan orang lain di mana anak Amirul mu’minin pakaiannya tidak pernah ganti-ganti, sebab dia hanya memiliki dua baju, di mana bila yang satu dipakai maka yang satu dicuci dan seterusnya. Sayidina Umar berkata: “Baiklah Nak, saya ingin belikan kamu baju baru hanya saja ayah saat ini tidak punya uang. Untuk itu kamu saya utus menemui “Khoolin Baitul Maal’ (bendahara negara), sampaikan kepada beliau salam dari ayah dan katakan pula bahwa ayah bermaksud mengambil gajinya bulan depan untuk membelikan kamu baju baru. Abdullah langsung menemui bendaharawan negara dengan mengatakan: “Ada salam dari ayah. Dan, ayah minta supaya gaji bulan depan bisa diserahkan saat ini untuk membelikan saya baju baru”. Bendaharawan tersebut mengatakan: “Nak, sampaikan kembali salamku kepada ayahmu, dan katakan bahwa aku tidak bersedia mengeluarkan uang itu”. Tanyakan kepada ayahmu, apakah ayahmu yakin sampai bulan depan beliau masih menjabat Amirul Mu’minin, sehingga berani mengambil uang gajinya bulan depan sekarang ? Andaikata dia yakin sampai bulan depan dia masih Amirul Mu’inin, yakinkah sampai besok dia masih hidup, bagaimana kalau besok ia meninggal dunia padahal gajinya bulan depan sudah dikeluarkan. Mendengar jawaban bendahara negara yang demikian itu, pulanglah Abudullah segera menemui ayahnya sambil menyampaikan pesan dari bendaharawan tersebut.

Mendengar penuturan anaknya, Umar langsung menggandeng tangan anaknya sambil mengatakan, antarkan saya menemui bendaharawan tadi. Begitu sampai di hadapan bendaharawan tersebut, Sayidina Umar langsung memeluknya, sambil mengatakan, terima kasih, saudara telah mengingatkan saya terhadap satu keputusan yang nyaris saja salah. Demikianlah kisah Sayidina Umar dan masih banyak lagi kisah lain dari perjalanan hidup para sahabat yang patut kita teladani untuk menghadapi dinamika kehidupan yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.

Allah SWT telah mengingatkan tentang bahayanya manusia-manusia yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, “Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (An Naazi’aat, 79 : 39) “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nyadan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (An Najm, 53 : 29-30)

Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedemikian mulianya bisa terwujud tiada lain karena adanya benteng keimanan yang sangat kuat dan kokoh. Semoga kita bisa meneladani apa yang menjadi perilaku Rasul dan para sahabatnya. Amin!

Wallahu a’lam bish-shawab

Jumat, 23 April 2010

Manusia dan Akal


Manusia adalah salah satu makhluk yang diciptakan Allah SWT di samping makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Di samping adanya perbedaan yang sangat mendasar antara penciptaan binatang dan manusia, ternyata masih ada kesamaan di antara keduanya. Kesamaannya, masing-masing baik binatang maupun manusia itu diciptakan secara fitrah memiliki kecenderungan memenuhi kebutuhan hawa nafsu. Adapun perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya adalah dalam proses pemenuhan hawa nafsu.

Binatang, oleh karena mereka tidak diberi akal maka naluri kecenderungan pemenuhan hawa nafsunya hanya sebatas fitrahnya. Misalnya, bila lapar lantas mereka pun akan segera mencari makanan untuk dimakan. Setelah kenyang mereka akan diam. Sebelum lapar mereka tidak akan makan, mereka akan makan hanya pada saat mereka betul-betul merasa lapar.

Dalam kehidupan binatang, ada yang berusaha menutupi kebutuhan hidupnya dengan sendiri-sendiri, ada pula yang membina kebersamaan di bawah satu kepemimpinan seperti dalam kelompok lebah atau tawon atau An Nahl. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah:”Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia”. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu) dari perut lebah itu keluar madu yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesung-guhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”(An Nahl, 16 :68-69).

Ayat di atas mengingatkan kita akan kebersamaan para lebah untuk menjadi contoh bagi kita, di bawah satu kepemimpinan mereka membina kesatuan, kerja sama yang sangat baik dan menghasilkan karya yang dapat dinikmati oleh manusia di antaranya madu yang bisa menjadi obat. Demikian pula, kehidupan semut pun dalam membina kebersamaan layaklah kita tiru.

Adapun manusia, di samping memiliki kecenderungan hawa nafsu untuk memenuhi kebutuhan hidup baik nafsu makan ataupun nafsu kebutuhan biologis, selain itu pula manusia diberi akal. Semestinya dengan akalnya ini manusia harus lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Karena dengan akalnya, manusia harus bisa terbimbing untuk bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi hak orang lain, mampu membedakan mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh dimakan, dan harus mampu pula membedakan mana yang bisa dinikmati dan mana yang tidak boleh dinikmatinya. Sesungguhnya, manusia derajatnya harus lebih baik daripada binatang.

Tetapi dalam realita kehidupan, menurut Al Madudi, kita selalu menyaksikan hampir pada setiap zaman justru sebagian besar manusia itu lebih tidak terkendali dalam memenuhi kebutuhan hawa nafsunya dibanding dengan binatang. Ini terjadi akibat dari lepasnya kendali dalam dirinya, karena akal yang seharusnya berfungsi mengendalikan hawa nafsu, namun pada prakteknya malah dikendalikan hawa nafsu. Sekan-akan tugas dan fungsi akal hanyalah memikirkan bagaimana caranya untuk memuaskan hawa nafsu. Ini semua bisa terjadi tiada lain karena tidak adanya kendali agama.

Di dalam Al Qur’an, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al A’raaf, 7 : 179).

Mereka memiliki akal tetapi tidak dipergunakan untuk berfikir pada jalan yang benar, mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat yang benar, mereka memiliki pendengaran juga tidak dipakai untuk mendengar kalimat-kalimat Allah yang seharusnya dapat menuntun hidup mereka. Akhirnya mereka tidak ada ubahnya seperti binatang bahkan lebih rendah daripada binatang.

Lebih lanjut, Al Madudi menyatakan, “Bila kita mau jujur melihat, kita tidak akan pernah menyaksikan ada sekelompok singa yang berusaha menyusun angkatan bersenjatanya untuk menyerang kelompok singa yang lain. Atau juga, kita tidak akan pernah menyaksikan ada seekor anjing yang berusaha untuk memperbudak anjing yang lain. Jujur saja, kita juga tidak akan pernah melihat ada seekor katak yang berusaha menutup mulut katak yang lain dengan tidak memberinya kesempatan untuk bersuara”. Bila dilihat dari sisi ini, ternyata hak asasi binatang (HAB) di dunia binatang itu jauh lebih terpenuhi dengan baik dibanding dengan hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan manusia.

Kata Al Madudi pula, kalau kita berbicara tentang binatang yang diberi gelar oleh manusia dengan gelar “Binatang Buas”. Padahal, sebuas-buasnya binatang tidak akan mengalahkan buasnya manusia. Sejak binatang buas dan manusia itu ada, berapa jumlah korban manusia yang pernah dimakan binatang buas dibandingkan kebuasan manusia atas manusia pada Perang Dunia I, misalnya. Bila dilhat dari sisi ini sebenarnya manusia lebih buas daripada binatang buas itu sendiri. Yakni manusia-manusia yang tidak mau mempergunakan hati, mata dan pendengaran mereka pada jalan yang benar. Mereka betul-betul termasuk, “kal an’aam” (binatang ternak), “bal hum adhallu” (bahkan mereka jauh lebih redah) daripada binatang.

Pertanyaannya, lantas hal apa yang sekiranya bisa meluruskan tingkah laku manusia yang sudah sedemikian rusak moralnya ? Jawabannya, Islamlah yang menjadi solusinya. Di dalam Al Quran dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw ditamsilkan oleh Allah SWT sebagai sosok hamba-Nya yang memang hadir dalam kehidupan ini untuk menjadi suri teladan. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau Muhammad adalah orang yang memiliki akhlak yang sangat agung atau mulia” (Al Qalam, 68 : 4)

Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa: “Sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Sa’ad, Bukhari, Baihaqi dari Abu Hurairah). Oleh karena itu, kalau kita lihat risalah Islam baik itu yang menyangkut masalah akidah dan syariah maka seluruh risalah Islam ini bemuara pada pembentukan akhlak. Sehingga akan bisa menjadi ukuran bahwa seseorang itu sudah benar akidah dan ibadahnya bisa dilihat dari akhlaknya. Jadi, yang menjadi parameter atau ukurannya adalah akhlaknya. Sehinggga Ibnu Qayyim pernah menyatakan, bahwa agama itu adalah akhlak, barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya berarti dia bertambah baik agamanya. Ini sejalan dengan hadits, di mana Rasululah Saw pernah bersabda: “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya’ (HR. Turmudzi)

Ini adalah sebuah prinsip risalah Islam yang hadir untuk membawa manusia mencapai kepribadian atau akhlak yang mulia agar tidak terseret dalam kehidupan seperti binatang. Pertanyaannya, bagaimana cara Islam bisa membentuk itu semua ? Pembentukannya tiada lain diawali dengan pembentukan keimanan atau akidah, disadarkannya manusia tentang apa yang menjadi tujuan hidupnya. Orang yang “tidak” beragama maka jelas dia tidak akan memiliki tujuan hidupnya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Ar Ra’d, 13 : 25).

Hawa nafsu bisa membuat manusia menjadi buta matanya, tuli telinganya dan tumpul  akalnya tidak bisa berfikir ke jalan yang benar. Karena hawa nafsunya sudah menjadi ilah atau tuhannya. Allah SWT berfirman: “Dan siapakah orang yang lebih sesat dari orang yang telah mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah” (Al Qashash, 28 : 50). Dalam firman-Nya pula: “Tidakkah engkau perhatikan mereka orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsu mereka itu sebagai ilah atau tuhan” (Al Furqaan, 25 : 43)

Ayat di atas menggambarkan kondisi manusia yang hidup tanpa iman, mereka betul-betul sudah menjadikan nafsu mereka sebagai tuhannya. Maka kita tidak bisa banyak berharap akan lahir sifat-sifat kemanusiaan dari manusia-manusia seperti ini. Lebih berbahaya lagi jika orang-orang seperti ini bisa tampil sebagai pemimpin masyarakat, maka dia tidak akan peduli dengan rintihan atau jeritan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Segala macam cara untuk memperoleh kenikmatan dunia ia jalankan tanpa mau melihat lagi batasan halal dan haram.

Sebaliknya, bagi seorang mu’min tidaklah demikian. Dia akan menyadari betul apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dia menyadari bahwa hidup di alam dunia ini bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hawa nafsunya, bahkan dia pun sadar betul bahwa hidup di alam dunia ini sendiri bukanlah merupakan tujuan. Yang menjadi tujuan hidupnya tiada lain adalah akhirat dan ridha-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(Al Qashash, 28 : 77).

Gambaran falsafah hidup seorang muslim terhadap dunia ini digambarkan oleh Allah SWT lewat firman-Nya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu ?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) dan yang memohon ampun pada waktu sahur”(Ali Imran, 3 : 14-17).      

Wallahu a’lam bish-shawab             

Minggu, 18 April 2010

Egoisme


EGOISME

Disadari atau tidak, bahwa egoisme manusia sangatlah terkait dengan keimanannya. Egoisme atau kecintaan manusia terhadap dirinya, tidak jarang dapat menguasai kepribadian seseorang. Bahkan mungkin sering kita lihat dalam kehidupan, betapa manusia asyik berjuang memenangkan ego masing-masing. 

Egoisme dipastikan akan memunculkan persaingan yang pada gilirannya akan memunculkan saling berselisih antara satu dengan lainnya di dalam memenuhi kepentingan yang menjadi ego masing-masing. Bahkan tidak jarang, dalam upaya persaingan dalam memenuhi ego memanfaatkan sebagian orang dengan menghalalkan segala macam cara, baik dalam bentuk kolusi, korupsi, nepotisme, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya.

Sudah sejak awal Allah SWT memperingatkan kepada kita apa yang telah terjadi pada manusia pertama, Adam. Kisah Adam dan Hawa, mengantarkan kita ke dalam keyakinan bahwa tidak mungkin kita meragukan keimanan Adam dan Hawa. Bagaimana mungkin kita bisa meragukan keimanan keduanya, karena mereka berdua langsung berjumpa dan berdialog dengan Allah.

Pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa keimanan Adam dan Hawa harus gugur dengan mengikuti godaan Iblis untuk melanggar satu aturan Allah, yaitu memakan buah Khuldi. Bila saja kita simak secara seksama, ternyata kalahnya keimanan Adam dan Hawa ini setelah Iblis berhasil mengetahui titik lemah manusia yang lalu Iblis bisikkan pikiran jahatnya dengan menyatakan, "Hai Adam, maukah kamu saya tunjukkan sebuah pohon Khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa" (Thaahaa, 20 : 120).
Pada satu sisi Allah mengingatkan kepada Adam dan Hawa, sekaligus menekankan bahwa keduanya dilarang memakan buah tersebut, bahkan jangankan untuk memakannya, mendekatinya pun dilarang. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim’ (Al Baqarah, 2:35).
Sementara Iblis menyatakan, maukah kamu aku “tunjukkan” sebuah pohon. Pohon yang hakikatnya Allah SWT nyatakan kepada Adam dan Hawa agar mereka berdua tidak mendekatinya, apalagi memakan buahnya.

Ini yang sebenarnya harus menjadi “Tazkirah” (peringatan), di satu sisi Allah melarang, tapi di sisi yang lain Iblis malah berusaha “menunjukkan” pohon itu. Masalahnya kemudian mengapa keimanan Adam dan Hawa tiba-tiba menjadi lemah untuk kemudian keduanya melanggar aturan Allah dengan memakan buah terlarang tersebut?
Di sinilah titik lemah manusia yang kemudian diketahui Iblis, di mana Iblis menyatakan, maukah saya tunjukkan kamu sebuah pohon yang kalau kamu makan buahnya maka kamu akan mendapatkan "dua" perkara. Yang pertama, “Khuld”(kekal). Yang kedua, mendapatkan kerajaan atau kekayaan yang berlimpah ruah.
Dengan kata lain Iblis berusaha memperdaya Adam dan Hawa dengan meyakinkan mereka berdua, bahwasanya Allah melarang memakan buah itu tidak lain karena Allah takut tersaingi, jika karena kalian  memakan buah tersebut maka kalian akan sama-sama kekal dan sama akan punya kekuasaan. Dua hal inilah, yakni mengharapkan “Kekekalan” kekuasaan dan harta yang berlimpah ruah yang telah mengantarkan runtuhnya keimanan Adam dan Hawa, keimanan dua insan yang langsung berjumpa dan berdialog dengan Allah SWT.

Satu pelajaran yang luar biasa sangat berharga bagi kita anak cucu Adam, bahwa kalau kita lihat keberhasilan Iblis menyesatkan manusia terbanyak dari dua sisi ini. Yakni dari sisi kekuasaan dan ingin hidup kekal lalu berusaha untuk bisa melanggengkan kekuasaan dan lain sebagainya. Kekal tidak hanya dari segi umur, tetapi dari sisi jabatan, kedudukan, dan lain sebagainya. Dari sisi inilah peluang Iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia.

Allah SWT mengingatkan, hanya keimananlah sebenarnya yang bisa mengendalikan kecenderungan tersebut. Dalam Islam seseorang tidak diperintahkan untuk mematikan kecenderungan hawa nafsunya sepanjang dalam memenuhinya masih dalam aturan yang benar menurut Allah SWT.
Tidak salah kalau seseorang ingin kaya, punya ambisi kedudukan, jabatan dan lain-lain sepanjang bisa ditempuh dengan jalan yang diridhai-Nya. Yang tidak dimungkinkan dalam Islam adalah, bila dalam memenuhi keinginannya ia tempuh dengan menghalalkan segala macam cara dengan melanggar aturan dan hukum-Nya.  

Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah, istri Rasulullah SAW, tentang bagaimana keimanan itu bisa mengendalikan ego seseorang. Dikisahkan ada dua orang laki-laki, mereka bertengkar memperebutkan harta waris, masing-masing tidak memiliki bukti kepemilikan harta yang diperebutkan itu. Lantas keduanya menghadap Rasulullah SAW untuk meminta keputusan Beliau.
Rasulullah SAW kepada mereka berdua menyatakan: Saya ini hanyalah seorang manusia, sementara kalian mencoba meminta penyelesaian proses hukum ini kepada saya, padahal boleh jadi seseorang di antara kalian akan mampu dengan dalil-dalil dan pendekatannya meyakinkan kepada saya bahwa dialah yang paling benar, sehingga saya bisa memutuskan bahwa itu milik dia, padahal itu belum tentu benar. Kalau itu yang terjadi maka berarti saya telah memberikan kepada dia peluang untuk menyiapkan bara api neraka jahnnam sepenuh perut dia. "Mereka yang memakan harta anak yatim dengan cara yang zalim maka sama dengan dia telah menyiapkan bara api sepenuh perutnya" (An Nissa', 4 : 10).
Mendengar pernyataan Rasulullah SAW ini, maka kedua laki-laki tadi kemudian masing-masing mengatakan kepada yang lain, kalau memang itu adalah hak saya, maka saya ikhlas untukmu, silakan ambil. Yang satu seperti itu yang lain pun demikian. Akhirnya mereka sama-sama tidak mau mengambil haknya. (HR. Sunan Abu Daud).

Seperti inilah jika keimanan yang menjadi pijakan hidup seseorang. Ada kisah lain yang serupa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah mengisahkan kepada para sahabat tentang dua orang mu'min yang satu menjual tanah kepada yang lain. Usai proses pembelian, si pembeli kembali lagi dengan membawa satu kotak peti berisi emas dengan mengatakan;  Setelah saya membeli tanah kebetulan saya menggali tanah itu kutemukan satu kotak peti berisi Emas. Karena saya hanya membeli dan membayar harga tanah, berarti tidak termasuk emas yang ada di dalam peti ini. Maka dari itu saya kembalikan kotak peti berisi emas ini.

Si penjual tanah tidak mau menerima dengan mengatakan, saya sudah menjual tanah dengan segala yang ada di dalamnya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk menemui seseorang untuk meminta keputusan. Maka berkatalah orang yang dipercayakan oleh kedua orang itu, adakah kalian berdua punya anak ? Yang satu menyatakan, saya punya anak laki-laki. Yang satunya lagi, saya punya anak perem-puan. Lebih lanjut, seseorang yang dipercaya itu mengatakan, kalau begitu nikahkan saja anak kalian berdua dan emas itu untuk modal anak kalian berdua. Maka barulah keduanya sepakat.
Alangkah luar biasa dampak keimanan dalam  mengendalikan egoisme manusia. Dan alangkah indahnya hidup dan kehidupan ini jika masing-masing manusia memiliki keimanan yang kuat sehingga dia mampu mengendalikan kecenderungan “ego” yang ada dalam dirinya sekaligus mementahkan bisikan Iblis yang menyesatkan.

Wallahu a’lam bish-shawab
Red: Republika Newsroom

Senin, 05 April 2010

Tafsir Surat Al Fatihah (1-7)

Oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di Rahimah
Senin, 22 Maret 2010 - 17:46:20
Hit: 638








بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (7).




بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

(بسم الله) yakni: Aku memulai dengan segenap nama Allah Ta’ala, karena lafaz (اسم) mufrad mudhaf (kata tunggal bersandar) maka mencakup segenap nama-nama Allah (yang husna).
(الله) adalah al ma’luh-al ma’bud (yang diibadahi), yang berhak ditunggalkan dalam peribadahan, karena sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya dari sifat-sifat uluhiyah, dan ia merupakan sifat-sifat kesempurnaan.
(الرحمن الرحيم) dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki rahmat yang luas dan besar yang mencakup segala sesuatu dan semua yang hidup dan Dia tetapkan untuk orang-orang yang bertakwa yang mengikuti nabi-nabi-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka mendapatkan rahmat yang mutlak dan selain mereka mendapatkan bagian dari rahmat-Nya.

Dan ketahuilah bahwa diantara kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh salaf (pendahulu) ummat ini dan imam-imam mereka: beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dan beriman dengan hukum-hukum sifat. Mereka mengimani –misalnya- bahwa Allah rahman rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang –pentj) yang memiliki sifat rahmat (kasih sayang –pentj) yang Dia curahkan kepada al marhum (yang Dia kasih-sayangi). Maka nikmat-nikmat seluruhnya merupakan buah dari rahmat-Nya. Dan demikianlah pada seluruh sifat. Kita katakan pada Al Alim (Yang Maha Mengetahui –pentj); bahwa Dia Maha Mengetahui, memiliki pengetahuan, dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Qadir (Yang Maha Berkuasa), memiliki kekuasaan, berkuasa atas segala sesuatu.






الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(الحمد لله) adalah pujian terhadap Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan dan dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkisar antara karunia dan keadilan. Maka milik-Nya pujian yang sempurna dari segala macam sisi.
(رب العالمين) Rabb, adalah yang mentarbiyah seluruh alam –(alam) adalah segala sesuatu selain Allah-, (mentarbiyah mereka) dengan menciptakan mereka dan dengan memberikan segala macam alat dan sarana serta nikmat-nikmat yang besar kepada mereka, yang apabila mereka kehilangan nikmat-nikmat tersebut mustahil mereka dapat melangsungkan kehidupannya. Maka apapun nikmat yang ada pada mereka semata-mata dari Allah Ta’ala.

Dan tarbiyah Allah Ta’ala terhadap makhluk-Nya ada 2: umum dan khusus.

(Tarbiyah yang) umum adalah: penciptaan Allah terhadap segenap makhluk dan memberi rejeki kepada mereka serta memberikan petunjuk kepada mereka terhadap segala kemaslahatan mereka yang merupakan sebab terjaganya kehidupan mereka di dunia.

(Dan tarbiyah yang) khusus yaitu: tarbiyah Allah kepada para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan keimanan dan menganugrahkan taufik kepada mereka kepadanya serta menyempurnakan keimanan tersebut bagi mereka dan menghalau dari mereka segala macam shawarif (faktor yang memalingkan) dan ‘awa’iq (faktor penghalang) yang menghalangi antara mereka dengan-Nya.

Dan hakikatnya (tarbiyah yang khusus): tarbiyah taufik kepada setiap kebaikan dan perlindungan dari segala macam kejelekan. Dan sepertinya inilah rahasianya, kondisi kebanyakan doa para nabi dengan menggunakan lafaz Rabb. Karena permintaan-permintaan mereka seluruhnya termasuk ke dalam rububiyah (tarbiyah) Allah yang khusus.

Maka firman Allah (رب العالمين) menunjukkan akan Maha Tunggalnya Allah dalam penciptaan dan pengaturan dan nikmat-nikmat dan (menunjukkan akan) sempurnanya kekayaan Allah dan sempurnanya kebutuhan seluruh alam kepada-Nya dari segala macam sisi dan penilaian.

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Al Malik, adalah yang memiliki sifat al mulk (raja) yang diantara dampaknya bahwa Dia memerintah dan melarang, dan memberi pahala dan menghukum, serta berbuat di kerajaan-Nya dengan segala macam bentuk kebijakan.
Dan disandarkannya al mulk kepada yaumid-diin (hari kemudian) dan yaumid-diin adalah hari kiamat, hari dimana manusia menghadap dengan membawa amal perbuatan mereka, baik atau buruk, karena pada hari itu tampaklah pada seluruh makhluk dengan jelas kerajaan-Nya yang sempurna, keadilan-Nya yang sempurna dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna dan terputusnya kerajaan-kerajaan makhluk hingga pada hari itu menjadi sejajar antara raja-raja dan rakyat, budak dan orang merdeka. Semuanya tunduk di hadapan kebesaran-Nya, hina di hadapan kemuliaan-Nya dan menunggu-nunggu pembalasan-Nya, mengharap-harap pahala dari-Nya dan takut akan hukuman-Nya. Oleh karena itu ia (yaumid-diin) dikhususkan penyebutannya meskipun (pada dasarnya) Allah adalah raja bagi hari kemudian dan hari-hari selainnya.


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Dan firman-Nya (إياك نعبد وإياك نستعين) yakni: kami khususkan Engkau semata dalam peribadahan dan isti’anah (meminta pertolongan). Karena mendahulukan ma’mul (objek) berfungsi membatasi. Yaitu menetapkan hukum kepada yang disebut dan menafikannya dari selainnya. Seolah-olah ia mengatakan; kami beribadah kepada-Mu dan tidak beribadah kepada selain-Mu dan kami meminta pertolongan-Mu dan tidak meminta pertolongan dari selain-Mu.

Dan didahulukan (penyebutan) ibadah dari isti’anah dalam rangka mendahulukan yang umum dari yang khusus dan memberi perhatian lebih dengan mendahulukan hak Allah Ta’ala dari hak hamba-Nya.

Dan ibadah adalah; sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai oleh-Nya dari perbuatan dan perkataan yang tampak dan tersembunyi.

Dan isti’anah adalah; bersandar kepada Allah Ta’ala dalam menggapai kemanfaatan dan menolak kemudharatan disertai dengan kepercayaan penuh kepada Allah dalam menggapai yang demikian.

Dan menegakkan ibadah kepada Allah dan isti’anah kepada-Nya merupakan sarana kepada kebahagiaan yang abadi dan keselamatan dari segala macam kejelekan. Maka tidak ada jalan kepada keselamatan kecuali dengan menegakkan keduanya. Dan ibadah disebut ibadah apabila bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan mengharapkan wajah Allah. Maka dengan dua hal ini ibadah disebut ibadah.

Dan penyebutan isti’anah setelah ibadah padahal isti’anah adalah bagian dari ibadah adalah karena butuhnya hamba pada setiap ibadah-ibadahnya kepada meminta pertolongan Allah. Karena sesungguhnya apabila Allah tidak menolongnya, dia tidak akan mendapatkan apa yang dikehendakinya dari mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Kemudian Allah berfirman, (اهدنا الصراط المستقيم) yakni; tunjuki dan bimbing kami dan berikan taufik pada kami kepada shiratal-mustaqim, yaitu; jalan yang terang yang mengantarkan kepada Allah dan kepada surga-Nya. Dan (jalan) itu adalah; mengetahui yang hak dan mengamalkannya. Maka tunjukilah kami kepada jalan ini dan tunjukilah kami di dalam jalan ini.
Dan petunjuk kepada jalan adalah menjalani ajaran Islam dan meninggalkan ajaran selainnya.
Sedangkan petunjuk di dalam jalan mencakup petunjuk kepada setiap rincian-rincian ajaran (Islam), mengetahui dan mengamalkannya.
Maka doa ini diantara doa yang paling luas dan besar manfaatnya bagi hamba. Oleh karena itu wajib bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah dengannya pada setiap rakaat dari shalatnya, karena kebutuhan mereka yang darurat kepadanya.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

Dan shiratul-mustaqim ini adalah “jalannya orang-orang yang Engkau berikan kepada mereka nikmat dari para nabi dan shiddiq dan syuhada’ dan shalihin” bukan jalan (المغضوب عليهم) orang-orang yang Engkau murkai, yaitu orang-orang yang mengetahui yang hak tapi meninggalkannya seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang yang semisal dengan mereka. Dan bukan jalan (الضآلين) orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang meninggalkan yang hak di atas kejahilan dan kesesatan seperti orang-orang Nashara dan orang-orang yang semisal dengan mereka.

Maka surat ini meskipun singkat tapi mencakup perkara-perkara yang belum dicakup oleh satu surat pun dari surat-surat Al Qur’an.

Surat ini mengandung tiga macam tauhid: tauhid rububiyah yang diambil dari firman-Nya (رب العالمين) “Rabb segenap alam”.

Dan tauhid uluhiyyah, yaitu menunggalkan Allah dalam peribadahan yang diambil dari lafaz (الله) dan dari firman-Nya (اياك نعبد) “hanya kepada Engkau kami beribadah”.

Dan tauhid asma’ was shifat, yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala dari sifat-sifat yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya tanpa ta’thil (penolakan) dan tamtsil (permisalan) dan tasybih (penyerupaan), yang menunjukkan hal ini lafaz (الحمد) “segala puji” sebagaimana telah berlalu (penjelasannya).

Dan (surat ini) mengandung penetapan nubuwah (yaitu) pada firman-Nya (اهدنا الصراط المستقيم) “tunjukilah kami jalan yang lurus” karena hal ini mustahil tercapai tanpa Allah mengutus rasul-Nya.

Dan adanya pembalasan atas amal perbuatan, pada firman-Nya (مالك يوم الدين) “Raja hari kemudian” dan bahwasanya pembalasan terjadi dengan keadilan, karena ad-diin (pembalasan) artinya adalah pembalasan dengan adil.

Dan mengandung adanya takdir dan bahwasanya hamba adalah pelaku yang hakiki (dari perbuatannya) berseberangan dengan Qadariyah dan Jabriyah. Bahkan (surat ini) mengandung bantahan kepada setiap ahlul bid’ah dan (pengekor) kesesatan, pada firman-Nya (اهدنا الصراط المستقيم) “tunjukilah kami jalan yang lurus” karena (jalan yang lurus) adalah; mengetahui yang hak dan mengamalkannya. Dan setiap mubtadi’ (ahlul bid’ah) dan orang yang sesat menyelisihi al hak ini.
Dan terkandung pemurnian ibadah bagi Allah Ta’ala, peribadahan dan isti’anah, pada firman-Nya (إياك نعبد وإياك نستعين) “hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.”

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin.

Diterjemahkan dari Taysir Karimir-Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan

Sumber :
Tafsir As-Sa'di